Minggu, 22 Januari 2017

IDEOLOGI, POLITIK, STRATEGI DAN TAKTIK

IDEOPOLSTRATAK
ANALISA POSISI STRATEGIS HMI DALAM UPAYA MEMPERJUANGKAN MARTABAT BANGSA

                                                              




Oleh :
Much. Yayi Lutfi Mubarok


HIMPUNAN MAHASISWA ISLAM
CABANG YOGYAKARTA
2016



ANALISA POSISI STRATEGIS HMI DALAM UPAYA MEMPERJUANGKAN MARTABAT BANGSA

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Diawali dari pengetahuan manusia terhadap realitas, merupakan bukti bahwa kecenderungan dalam mencari serta menemukan kebenaran sebagai media dalam mencapai tujuan adalah fitrah manusia.[1]
Perjuangan politik setidaknya memiliki beberapa kandungan signifikan yang menjadi landasan bagi “gerakan” yang akan dilakukan[2], yaitu;
1) Iman atau keyakinan yang teguh.
2) Ilmu yang cukup.
3) Ideologi yang jelas.
4) Organisasi yang baik, rapi dan disiplin.
5) Strategi dan taktik yang tepat, serta.
6) Kemampuan teknis dan teknologis yang memadai.
Beberapa hal tersebut di atas yang akan bersama-sama kita fahami. Mengingat pentingnya bekal bagi seorang kader HMI dalam melaksanakan perjuangan Ideologi, Politik Organisatoris, strategi dan taktiknya kelak. Maka untuk mencapai Harapan bangsa ini HMI juga ikut serta dalam memperjuangkan Martabat Bangsa Indonesia yang majemuk ini. Sehingga didalam Organisasi HMI sendiri memerlukan IDEOPOLSTRATAK (Ideologi, Politik, Strategi dan Taktik) supaya HMI dapat memposisikan dirinya dalam memperjuangkan Martabat bangsa.[3]
B. Rumusan Masalah
1) Bagaimana mengembangkan Ideopolstratak HMI dalam mengembangkan Intelektual Kader?
2) Apakah Ideopolstratak HMI sekarang masih bisa diaplikasikan  untuk memperjuangkan martabat bangsa?
3) Peranan apakah yang dilakukan oleh kader-kader HMI dalam Memperjuangkan martabat Bangsa?
C. Tujuan Penulisan
1) Memperkenalkan Peranan Ideopolstratak HMI dalam sebuah kancah dunia perubahan yang positif terhadap perubahan bangsa Indonesia sendiri.
2) Menjadi pedoman serta referensi bagi kader-kader HMI untuk membangun dunia Intelektual muda di Indonesia.
3) Menjalankan Roda Organisasi HMI, yang sesuai Ajaran Islam sebagai agama Rahmatan Lil’alamin yang selalu mengajar kebenaran baik dari Aspek keummatan maupun kebangsaan.
4) Selalu mengamalkan dan membawa visi dan msi HMI didalam kehidupan sehari-hari sebagai kader yang Intelektual.



BAB II
PEMBAHASAN
A. IDEOLOGI
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide".[4] Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan utama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik.[5]
Sejak awal HMI telah mencantumkan “Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam” sebagai salah satu tujuannya, di samping “Mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia”. Dengan demikian, Islam telah dijadikan sebagai landasan organisasi. Dalam hal ini HMI tidak mendasarkan diri pada “mazhab” tertentu, walau kemudian dalam pola pemikirannya HMI cenderung sebagai kelompok intelektual muslim pembaharu.[6]
Dari situ HMI menuangkan pemahaman keislamannya yang tertampung dalam sebuah buku pedoman yang diberi nama Nilai Dasar Perjuangan (NDP). NDP merupakan gambaran bagaimana seorang HMI memahami Islam sebagaimana tercantum dalam Al-Quran. Secara doktrin, yang terkandung dalam NDP bukanlah ajaran yang bertentangan dengan Islam, melainkan merupakan formulasi kembali atas Al-Quran sehingga tertuang menjadi suatu kepribadian bagi kader HMI dalam mewujudkan amanat Tuhan sebagai khalifah fil-ardhi.
NDP adalah landasan ideologis perjuangan HMI, sebagai ruh yang mendorong moral pergerakan kader. Pemahaman terhadap NDP diharapkan dapat menumbuhkan kepercayaan diri kader akan keyakinan ilahiahnya, membangun semangat humanisme dalam interaksi dengan sesama manusia, dan sebagai sumber nilai moral yang mengiringi ilmu pengetahuan untuk diabdikan bagi kemanusiaan. Dengan demikian nilai-nilai NDP bisa menjadi identitas yang khas bagi kader-kader HMI.
Sehingga Ideologi HMI yang dibawa didalam diri kader-kadernya yang selalu senantiasa untuk memperjuangkan Agama Islam dan Meningkatkan Martabat bangsa Indonesia. Selama ini HMI dikenal dengan tradisi pembaharuannya. Dalam pembaharuan akan selalu ada kritik dan otokritik terhadap segala sesuatu yang ada. Hal ini memungkinkan adanya perbaikan dan pengembangan ke arah yang lebih baik.[7]
Meskipun NDP berpretensi ideologis, NDP tidak boleh diperlakukan sebagai dogma yang taken for granted oleh kader-kader HMI. NDP bagi HMI tidaklah sama dengan al-Quran bagi umat Islam. Bagaimana pun NDP adalah buatan manusia. Karena itu meskipun perumusannya didasarkan pada wahyu yang bersifat mutlak, NDP tak lebih dari sekadar hasil interpretasi manusia yang nilai kebenarannya relatif.
NDP bisa dikatakan sebagai satu usaha berupa landasan filosofis untuk mencapai yang Mutlak, Kebenaran, yaitu Tuhan itu sendiri. Keberadaan NDP harus disikapi secara kritis. Cak Nur sendiri, selaku salah seorang perumus NDP, ketika ditanya apakah NDP masih relevan dengan kondisi sekarang ataukah perlu diganti, mengatakan bisa saja, asal tingkat intelektualitasnya tidak lebih rendah dari yang ada sekarang.[8]
Ideologi adalah landasan gerak, dalam arti yang lebih luas ideologi dapat dikatakan sebagai seperangkat nilai-nilai berdasarkan pandangan dunia (pandangan hidup) untuk mengatur kehidupan Negara dalam segi-seginya dan yang disusun dalam sebuah konstitusi berikut peraturan-peraturan dan implementasinya.[9]
Pada wilayah ideologi, Tauhid jelas haruslah menjadi dasar utamanya (sumber). Bagaimana pemahaman kader maupun manusia secara umum tentang Tauhid menjadi dasar dari epistemologinya. Sehingga dengan pengetahuan yang bersumber dari Tauhid tersebut akan dapat menghasilkan pandangan dunia yang objektif. Selanjutnya pandangan dunia atau cara memahami realitas tersebut yang nantinya sebagai perangkat ideologi. Jika lebih disederhanakan lagi, ideologi sangatlah penting dalam perjuangan politik, sebab ideologi sebagai landasan setiap gerak yang akan diaktualisasikan.[10]
Saat ini kita tahu bahwa terdapat banyak sekali ideologi raksasa yang dengan segala varianya juga memiliki orientasi dalam pencapaian tujuan (liberalism, kapitalisme, sosialisme dll). Maka sebagai landasan gerak yang universal dan baku Tauhid adalah rujukan atau sumber utama ideologi yang jelas, permanent dan selalu relevan.
B. POLITIK ORGANISATORIS
Politik secara bahasa Arab disebut “Siyasyah” yang kemudian diterjemah menjadi siasat, atau “Politics”.[11] Pada dasarnya mempunyai ruang lingkup Negara, karena teori politik mempengaruhi hidup masyarakat, jadi negara dalam keadaan bergerak. Politik adalah suatu disiplin ilmu pengetahuan yang berdiri sendiri tetapi juga seni, dikatakan sebagai seni berapa banyak kita melihat politikus yang tanpa pendidikan ilmu politik, tetapi mampu berkiat memiliki bakat yang dibawa sejak lahir dari naluri sanubarinya. sehingga dengan kharismatik menjalankan roda politik praktis.
Menurut Robert A. Dahl: ”Political science is, of coure, the study of politics. One might better say, it is the systematic study of politics, that is an attempt by systematic analysis to discover in the confusing tangle of spesific detail what ever principles may exist of wide and more general significance”.[12]
Maksudnya Ilmu politik adalah sudah barang tentu pelajaran tentang siasat, atau lebih baik pula dikatakan, hal ini sabagai pelajaran terinci dari berbagai cara yaitu usaha pembahasan yang teratur untuk menemukan pencegahan kebingungan yang kacau dalam pengertian yang lebih luas.
Politik secara sederhana dapat kita artikan sebagai suatu media untuk mencapai maksud atau tujuan. Politik merupakan pengetahuan terapan, di mana dengan pengetahuan politik maksud serta tujuan yang akan dicapai dapat diperjuangkan melalui perjuangan politik dengan menggunakan ilmu pengetahuan politik. Tentu saja di dalam politik tersebut masih membutuhkan banyak pengetahuan terapan yang lain, yaitu strategi dan taktik. Di dalam Islam, system politik terdiri atas tiga prinsip pokok, Tauhid, Risalah dan Khilafah. Prinsip yang pertama termanifestasikan dalam pembahasan kita yang pertama mengenai ideologi.[13] Begitu juga dengan prinsip yang ke dua, selain termanifestasikan dalam ideology juga termanifestasikan melalui aturan-aturan serta tuntunan-tuntunan yang membatasi kekuasan seorang khilafah. Sedangkan sebagai khilafah, setidaknya manusia memiliki beberapa syarat sebagai berikut[14]:
1.  Pemilik dari bumi sepenuhnya adalah tetap Tuhan.
2. Pengelola itu akan mengelola milik Tuhan sesuai dengan instruksi-instruksinya (pemahaman kita terhadap tauhid yang termanifestasikan sebagai ideologi).
3. Pengelola milik Tuhan akan melaksanakan kekuasannya dalam batas-batas yang telah ditetapkan Tuhan atas dirinya.
4. Dalam mengelola itu, ia akan melaksanakan kehendak Tuhan, bukan kehendaknya sendiri (kemerdekaan individu, keharusan universal dan tetap bertitik tolak dari Tauhid).
Secara singkat politik adalah untuk kekuasaan, sebab hanya dengan kekuasanlah tujuan dapat terwujud. Namun dengan kekuasan yang telah didapatkan nantinya, kekuasan tersebut tetap harus dijalankan berdasarkan atas ideologi yang sudah dipilihnya. Dalam kaitanya dengan ini, politik tidak terlepas dari 4 hal ; order (susunan, pembagian, perintah), virtue (kebajikan),  freedom (kebebasan atau kemerdekaan) dan  happiness atau welfare (kebahagiaan dan kesejahteraan).
Kekuasaan yang diperoleh melalui politik haruslah dapat mewujudkan empat hal tersebut di atas, jika tidak maka kekuasaan yang ada bertentangan dengan fithrah dan tujuan kekuasaan yang murni, tentu saja jalan yang dilalui oleh perjuangan politik adalah tidak benar, sebab akibatnya pun tak selaras dengan tujuan idealnya.
Sebagai organisasi mahasiswa, HMI bukan dibentuk sebagai organisasi politik, dan karena itu tidak berorientasi pada politik. Perjuangan HMI adalah perjuangan kebenaran, atau nilai-nilai kemanusiaan. Dengan demikian, maka HMI tetap disebut sebagai kekuatan moral dan pantulan suara nurani masyarakat. akan tetapi, sebagai organisasi yang telah mengalami perkembangan sedemikian rupa, termasuk persentuhannya dengan dinamika politik bangsa, maka setiap sikap dan perilaku HMI akan tetap mempunyai nilai dan resonansi politis. HMI yang postur awalnya sebagai moral force mau tidak mau juga dihitung sebagai political force. Kondisi demikian menuntut HMI mengaktualisasi potensinya itu, baik moral force maupun political force.[15] Tanpa aktualisasi keduanya bukan hanya mubazir, tetapi juga akan menyebabkan proses pembusukan secara internal. HMI juga mampu memproduksi pemimpin bangsa yang mempunyai Strategi-strategi jitu serta taktik dalam membangun dan memperjuangkan martabat bangsa Indonesia.
Karakteristik khas pola gerakan HMI sejak awal berdirinya adalah tidak memisahkan gerakan politik dengan gerakan keagamaan. Berpolitik bagi HMI adalah suatu keharusan, sebab untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan HMI haruslah dilakukan secara politis. Hal ini dikuatkan pula oleh pendiri HMI, Lafran Pane, bahwa bidang politik tidak akan mungkin dipisahkan dari HMI, sebab itu sudah merupakan watak asli HMI semenjak lahir. Namun hal itu bukan berarti HMI menjadi organisasi politik, sebab HMI lahir sebagai organisasi kemahasiswaan dan kepemudaan (ormas), yang menjadikan nila-nilai Islam sebagai landasan teologisnya, kampus sebagai wahana aktivitasnya, mahasiswa Islam sebagai anggotanya. Background kampus dan idealisme mahasiswa merupakan faktor penyebab HMI senantiasa berpartisipasi aktif dalam merespon problematika yang dihadapai umat dan bangsa, jadi wajar jika HMI tetap memainkan peran politiknya dalam kancah bangsa ini. Selain itu, argumentasi lain dikemukakan oleh Rusli karim dalam tulisannya; “Walaupun HMI bukan organisasi politik, tetapi ia peka dengan permasalahan politik. Bahkan kadang-kadang karena keterlibatannya yang sangat tinggi dalam aktivitas politik ia dituduh sebagai kelompok penekan (pressure group)”.[16]
Watak khas pola gerakan politik HMI ini yang terinternalisasi sejak kelahirannya ini menjadikan HMI senantiasa bersikap lebih berhati-hati dalam melakukan aktivitas organisasinya, sehingga kehati-hatian inilah yang melahirkan sikap moderat dalam aktivitas politik HMI.[17] Lahirnya sikap moderat ini sebagai konsekuensi logis dari kebijakan HMI memposisikan dirinya harus senantiasa berada diantara berbagai kekuatan kepentingan agar HMI bisa lebih leluasa untuk melakukan respon serta kritisismenya dalam mencari alternatif dan solusi dari problematika yang terjadi disekitarnya. Namun sebagai konsekuensi logis pula bagi HMI, dengan sikap moderat dalam aktivitas politiknya ini, munculnya kecenderungan sikap akomodatif dan kompromis dengan kekuatan kepentingan tertentu, dalam hal ini penguasa.
Sikap politik HMI dalam proses kesejarahannya memperlihatkan dinamika yang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama kaitannya antara sikap politik HMI dengan konsisi sosial politik yang terjadi pada masa tertentu. Sedikitnya ada dua faktor yang mempengaruhi pola gerakan HMI, yaitu; pertama faktor internal, faktor ini berupa corak pemikiran keIslaman-keIndonesiaan yang dipahami HMI dan kultur gerakan HMI yang dibentuk sejak kelahirannya; kedua faktor eksternal. HMI yang menegaskan dirinya sebagai organisasi berbasis Islam dengan ajaran Islam sebagai landasan nilai dalam gerakannya, tentunya tidak bisa dilepaskan dari komunitas Islam. HMI pun menegaskan dirinya sebagai anak kandung umat Islam yang senantiasa akan berjuang bersama-sama umat dan ditengah-tengah umat dalam memperjuangkan terciptanya masyarakat adil makmur  yang  diridhai  Allah SWT (baldatun toyyibatun warabbun ghafur). Oleh karena itu, pola gerakan HMI akan banyak sekali dipengaruhi oleh kondisi  sosio-aspiratif umat Islam. Karena sosio-aspiratif ini pasti berbeda-beda sesuai dengan perkembangan jaman, maka pola gerakan HMI dalam konteks ini pun akan berubah sesuai dengan kondisi sosio-aspiratif umat Islam.
C. Strategi dan Taktik
Strategi adalah pendekatan secara keseluruhan yang berkaitan dengan pelaksanaan gagasan, perencanaan, dan eksekusi sebuah aktivitas dalam kurun waktu tertentu. Didalam strategi yang baik terdapat koordinasi tim kerja, memiliki tema, mengidentifikasi faktor pendukung yang sesuai dengan prinsip-prinsip pelaksanaan gagasan secara rasional, efisien dalam pendanaan, dan memiliki taktik untuk mencapai tujuan secara efektif.
Strategi dibedakan dengan taktik yang memiliki ruang lingkup yang lebih sempit dan waktu yang lebih singkat, walaupun pada umumnya orang sering kali memadukan ke dua kata tersebut. Contoh berikut menggambarkan perbedaannya, "Strategi untuk memenangkan keseluruhan kejuaraan dengan taktik untuk memenangkan satu pertandingan".
Peter Drucker, yang merupakan Profesor manajemen pemasaran memberi pengertian kepada strategi dan taktik yaitu[18] :
• Strategi adalah mengerjakan sesuatu yang benar (doing the right things)
• Taktik adalah mengerjakan sesuatu dengan benar (doing the thing right)
Disisi Lain Rasulullah SAW menyampaikan “Ilmu tanpa amal adalah dosa, demikian pula amal tanpa ilmu.” Jika kita kaitkan dengan perjuangan politik, maka politik adalah merupakan sebuah amal, jika tidak disertai dengan ilmu maka akan sia-sia. Dalam sebuah perjuangan politik, strategi dan taktik adalah ilmunya, selain landasan tauhid sebagai dasar ideology dan juga pengetahuan mengenai ilmu politik itu sendiri. Strategi adalah memanfaatkan pertempuran untuk mengakhiri peperangan, taktik adalah penggunaan kekuatan untuk memenangkan suatu pertempuran. Sedangkan menurut Mao Tse Tung strategi adalah untuk menguasai suatu peperangan secara keseluruhan, sedangkan taktik adalah untuk melakukan kampanye (yang merupakan bagian dari peperangan). Namun yang perlu juga kita garis bawahi di sini adalah strategi dan taktik dalam politik tidak dapat meliputi sampai tercapainya tujuan, sebab strategi hanya meliputi jangka waktu tertentu. Dalam pandangan HMI, seperti yang diungkapkan oleh Dahlan Ranuwiharjo mewakili pendidik politik di HMI, strategi adalah Bagaimana menggunakan peristiwa-peristiwa politik dalam jangka waktu tertentu untuk mencapai rencana perjuangan, sedangkan taktik adalah bagaiman menentukan sikap atau menggunakan kekuatan dalam menghadapi peristiwa politik tertentu pada saat tertentu.[19]
1. Hubungan Taktik dengan Strategi
Taktik merupakan bagian dari strategi. Maka dalam hal ini, taktik harus tunduk kepada strategi yang ada.
a) Jika semua taktik berhasil maka strateginya berhasil.
b) Jika Semua taktik gagal maka strateginya gagal.
c) Jika salah satu taktik gagal, maka strategi masih bias berhasil dengan syarat taktik yang lainnya berhasil, dan bersifat strategis.
d) Jika Sebagian taktik berhasil namun sebagian taktik strategis yang lain gagal, maka strategi gagal.
Taktik strategis adalah taktik mengenai suatu kejadian politik, namun kejadian itu menentukan bagi seluruh rencana strategis, dengan kata lain taktik ini adalah taktik utama atau prioritas.
Stratak hanya boleh dipelajari oleh pejuang tulen yang telah memiliki kesadaran ideologi dan organisasi serta sanggup berfikir politis realistis. Seorang yang penakut, menghindari resiko dan lebih mengedepankan kepentingan pribadi dari pada kepentingan perjuangan tidak usah mempelajari strata, akan sia-sia, kasihan strataknya. Sebaliknya, orang yang yang berkesadaran ideologi serta organisasi haruslah mempelajari strategi dan taktik, sehingga dia tidak akan sembrono dalam bergerak, tidak anarkhis, tidak nyelonong saja serta tidak bertindak radikal ekstrem.
2. Stratak dan Organisasi
Stratak adalah cara menggunakan dan mengendalikan organisasi untuk mencapai sasaran perjuangan. Garis dari setiap strata harus disesuaikan dengan kondisi organisasi, kesuksesan strata akan semakin memperkuat organisasi, begitu juga sebaliknya. Semakin berkurang kekuatan organisasi, semakin tidak mampu organisasi itu melaksankan stratak yang besar, semakin kecil stratak yang dapat dilaksanakan oleh organisasi semakin jauh organisasi tersebut dari tujuan perjuangan politiknya. Stratak tidak mampu berdiri sendiri, melainkan dia hanya alat pelaksana bagi tujuan ideologi.
3. Tugas Stratak
Menciptakan, memelihara, dan menambah syarat-syarat yang akan membawa kepada tujuan (machts-vorming dan machts-anwending) adalah tugas stratak. Dengan kata lain, tugas stratak adalah untuk mempertahankan dan menambah kekuatan serta posisi sendiri, di samping itu juga untuk menghancurkan dan mengurangi kekuatan serta posisi lawan.
4. Dasar-dasar Menyusun Strategi
a) Menetapkan sasaran yang hendak dicapai oleh organisasi dalam jangka waktu tertentu. Sasaran disesuaikan dengan kemampuan oranisasi.
b) Jangka waktu ditentukan sebagai jangka waktu sekarang (jangka pendek) dan jangka waktu beberapa tahun ke depan (jangka panjang).
c) Harus terdapat rencana atau strategi alternative.
d) Harus dapat menambah kekuatan serta memperkuat posisi.
e) Harus mampu membentuk opini public (subyektifitas menjadi objektifitas, sebab mendapatkan dukungan dan sokongan dari kesepakatan wacana publik).
5. Dasar-dasar Membentuk Taktik
Dikarenakan taktik merupakan bagian dari strategi maka dasar bagi strategi berlaku juga untuk taktik. Namun masih terdapat beberapa dasar yang berlaku untuk taktik.
a) Fleksibilitas, sikap dan langkah dapat berubah sesuai dengan kondisi yang terjadi.
b) Orientatif, evaluative dan estimative, perjuangan politik tidak mampu melihat hasil atau keberhasilan yang dicapai nanti, sebab hal tersebut belum terjadi. Namun dengan menentukan langkah, mengira-ngira (mengorientasikan) serta mengevaluasi keadaan dan kemungkinan yang akan terjadi, disertai dengan memperhitungkan beberapa hal maka kita akan dapat melihat bayangan aka nada dan tidaknya kesempatan untuk berhasil.
c) Kerahasian, strategi harus dirahasiakan, biarlah lawan meraba apa langkah perjuangan yang akan kita lalui.
d) Gerak tipu atau mengelabuhi.
e) Lima S (Sasaran, Sarana, Sandaran, Sistem, Saat).
f) Perpaduan antara Kondisi Objektif dan Kondisi Objektif, kondisi subjektif mematangkan kondisi objektif, begitu juga sebaliknya. Antara kedua kondisi ini memiliki hubungan timbal balik (feedback) dan bisa juga dikatakan sebagai simbiosis mutualisme (saling menguntungkan) yang saling mempengaruhi.
6. Hukum-hukum Stratak
a) Kwantitas.
b) Perpaduan antara kwalitas dan kwantitas.
c) Posisi.
d) Cadangan.
e) Kawan, Sekutu dan Lawan.
f) Divide et impera.
g) Menyerang adalah pertahan yang terbaik.
h) Membenarkan segala cara, selama tidak bertentangn dengan ideologi dan membawa akibat yang dapat merugikan diri sendiri.
7. Pedoman Mencapai Hasil
a) Mencegah mudhorat lebih diutamakan dari menarik manfaat.
b) Apa yang dapat diselesaikan hari ini, selesaikan, jangan menunda.
c) Tidak ada rotan, akarpun jadi.
d) Hasil dalam perjuangan terletak pada hasilnya sendiri, tidak ada satupun yang berhasil daripada keberhasilan.
Sehingga dengan Ideopolstratak HMI diharapkan kader-kader HMI mampu membawa bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang bermartabat di mata internasional. Sebagaimana tertulis, kemunculan HMI merupakan kulminasi dari himpitan–himpitan imperialisme Belanda. Himpitan–himpitan itu menyebabkan ”Keresahan Sosial” bagi Umat Islam, kemudian menimbulkan ”Protes Sosial Keagamaan” untuk menunjukan kekuatan Islam, yang ditandai berdirinya HMI 5 Februari 1947. HMI adalah suatu gerakan pembaharuan untuk membebaskan umat Islam dan bangsa Indonesia dari keterbelakangan. Pemikiran ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an HMI menampilkan Islam yang bercorak khas Indonesia. Pemikiran ini akan mendatangkan perubahan, sesuai dengan kebutuhan kontemporer menuju masa depan Indonesia baru yang dicita-citakan seluruh rakyat Indonesia, yaitu masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.[20]
HMI tidak akan pernah terpisah dari Harapan Masyarakat Indonesia karena HMI terlahir dari Harapan Masyarakat Indonesia, sehingga formulasi perjuangan HMI-pun adalah formulasi perjuangan bangsa Indonesia. Tetapi akan berubah ketika HMI tidak mampu menatap reealitas bangsa Indonesia.  Perubahan yang terjadi pada bangsa Indonesia berbeda sesuai tuntutan zamannya. Hal ini jelas akan menyebabkan formulasi perjuangan HMI dalam mewujudkan Harapan Masyarakat Indonesia harus mengikuti perubahan tersebut. Dan saat ini, masalah yang dihadapi masyarakat pun semakin kompleks terkait tuntutan pemenuhan kebutuhan dalam segala aspek kehidupan, baik ekonomi, politik, sosial dan lain-lain yang semakin sulit dan perlu adanya pemerataan untuk mewujudkan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.[21]



BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Kata ideologi sendiri diciptakan oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum (lihat Ideologi dalam kehidupan sehari hari) dan beberapa arah filosofis (lihat Ideologi politis), atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Tujuan utama dibalik ideologi adalah untuk menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik sehingga membuat konsep ini menjadi inti politik.
Sejak awal HMI telah mencantumkan “Menegakkan dan mengembangkan ajaran agama Islam” sebagai salah satu tujuannya, di samping “Mempertahankan dan mempertinggi derajat rakyat Indonesia”. Dengan demikian, Islam telah dijadikan sebagai landasan organisasi. Dalam hal ini HMI tidak mendasarkan diri pada “mazhab” tertentu, walau kemudian dalam pola pemikirannya HMI cenderung sebagai kelompok intelektual muslim pembaharu.
Sikap politik HMI dalam proses kesejarahannya memperlihatkan dinamika yang cukup menarik untuk dikaji lebih dalam, terutama kaitannya antara sikap politik HMI dengan konsisi sosial politik yang terjadi pada masa tertentu. Sedikitnya ada dua faktor yang mempengaruhi pola gerakan HMI, yaitu; pertama faktor internal, faktor ini berupa corak pemikiran keIslaman-keIndonesiaan yang dipahami HMI dan kultur gerakan HMI yang dibentuk sejak kelahirannya; kedua faktor eksternal. HMI yang menegaskan dirinya sebagai organisasi berbasis Islam dengan ajaran Islam sebagai landasan nilai dalam gerakannya, tentunya tidak bisa dilepaskan dari komunitas Islam. HMI pun menegaskan dirinya sebagai anak kandung umat Islam yang senantiasa akan berjuang bersama-sama umat dan ditengah-tengah umat dalam memperjuangkan terciptanya masyarakat adil makmur yang diridhai Allah SWT (baldatun toyyibatun warabbun ghafur). Oleh karena itu, pola gerakan HMI akan banyak sekali dipengaruhi oleh kondisi sosio-aspiratif umat Islam. Karena sosio-aspiratif ini pasti berbeda-beda sesuai dengan perkembangan jaman, maka pola gerakan HMI dalam konteks ini pun akan berubah sesuai dengan kondisi sosio-aspiratif umat Islam.
Sehingga dengan Ideopolstratak HMI diharapkan kader-kader HMI mampu membawa bangsa Indonesia ini menjadi bangsa yang bermartabat di mata internasional. Sebagaimana tertulis, kemunculan HMI merupakan kulminasi dari himpitan–himpitan imperialisme Belanda. Himpitan–himpitan itu menyebabkan ”Keresahan Sosial” bagi Umat Islam, kemudian menimbulkan ”Protes Sosial Keagamaan” untuk menunjukan kekuatan Islam, yang ditandai berdirinya HMI 5 Februari 1947. HMI adalah suatu gerakan pembaharuan untuk membebaskan umat Islam dan bangsa Indonesia dari keterbelakangan. Pemikiran ke-Islam-an dan ke-Indonesia-an HMI menampilkan Islam yang bercorak khas Indonesia. Pemikiran ini akan mendatangkan perubahan, sesuai dengan kebutuhan kontemporer menuju masa depan Indonesia baru yang dicita-citakan seluruh rakyat Indonesia, yaitu masyarakat adil makmur yang diridhoi Allah SWT.




Daftar Pustaka
Nurcholish Majid, Islam dan Keindonesiaan Menatap Masa Depan, Jakarta : Penerbit Yayasan Wakaf Paramadina, 1986.
Solchin, HMI Candradimuka Mahasiswa, Jakarta : Sinergi Persadatama Foundation, 2010.
Agussalim Sitompul, Historiografi Himpunan Mahasiswa Islam Tahun 1947-1993, Jakarta : Intermasa, 1994.
Aagussalim Sitompul, Pemikiran HMI dan Relevansinya dengan Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Jakata : PT. Integrita Dinamika Press, 1986.
Victor Tanja, Himpunan Mahasiswa Islam Sejarah dan Kedudukannya di tengah Gerakan-gerakan Muslim Pembaharu di Indonesia. Jakarta : Sinar Harapan, 1982.
Saidi, Ridwan, Pemuda Islam dalam Dinamika Politik Bangsa 1925-1984, Jakarta : CV. Rajawali, 1984.
Mintareja, Islam dan Politik Islam dan Negara di Indonesia, Jakarta : PT Septenarius, 1976.
Yunisva, Hesti, Ideology dalam Perspektif Islam, Bogor : ESAB Gifari Yusuf, 2003.
Surbakti Ramlan, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, 1992.



CURICULUM VITAE

DATA PRIBADI
Nama                           : Much. Yayi luthfi Mubarok
Jenis Kelamin              : Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir: Bandung, 30 Mei 1994
Kewarganegaraan       : Indonesia
Status Perkawinan      : Belum kawin
Tinggi, Berat badan    : 155 cm, 52 kg
Kesehatan                   : Sangat baik
Agama                         : Islam
Alamat lengkap          : Jl. Pangauban RT. 02/02 No. 36 Ds. Girimukti Kec. Saguling Kab. Bandung Barat
No HP                         : 08562175816
Email                           : lutfieyay@gmail.com
PENIDIKAN
1.      SD Negeri Maroko, Tamat/Berijazah
2.      MTs AL-ihsan Batujajar, Tamat/Berijazah
3.      MA Al Basyariyah Kab. Bandung, Lulus 2013

PEKERJAAN SAAT INI
1.      Mahasiswa di Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta
PENGALAMAN ORGANISASI SAAT INI
          1          KNPI KEC. SAGULING KAB. BANDUNG BARAT
          2          HMI Komisariat FEBI UIN SUNAN KALIJAGA
          3          DPUDT YOGYAKARTA
          4          MUSIC JOGJA



[1] Jurnal, Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fisipol UGM, diambil dari http://library.bakrie.ac.id/index.php/jurnal/80-jurnal-ilmiah/97-jurnal-ilmu-sosial-dan-ilmu-politik-fisipol-ugm, 15 Januari 2016.
[2] Ibid.
[3] Rudy, May, 1992, Pengantar Ilmu Politik, Bandung : PT. Rafika Aditama, hlm 21.
[4] Yunisva, Hesti, 2003, Ideology dalam Perspektif Islam, Bogor : ESAB Gifari Yusuf, hlm 124
[5] Ibid.
[6] Nurcholish Majid, 1986, Keislaman dan Keindonesiaan Menatap Masa Depan, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, hlm 60.
[7] Solichin, 2010, HMI Chandradimuka Mahasiswa, Jakarta : Sinergi Persadatama Foundation, hlm 215.
[8] Nurcholish Majid, 1986, Keislaman dan Keindonesiaan Menatap Masa Depan, Jakarta : Yayasan Wakaf Paramadina, hlm 72.
[9] Yunisva, Hesti, 2003, Ideology dalam Perspektif Islam, Bogor : ESAB Gifari Yusuf, hlm 144.
[10] Ibid.
[11] Surbakti Ramlan, 1992, Memahami Ilmu Politik, Jakarta : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, hlm 56.
[12] Robert A. Dahl, 1996, Study Of Politics, hlm 108.
[13] Ibid.
[14] Ibid, hlm 142.
[15] Solichin, 2010, HMI Chandradimuka Mahasiswa, Jakarta : Sinergi Persadatama Foundation, hlm 137.
[16] Rusli Karim, 2006, HMI bukan Organisasi Politik, Jakarta : Pressure Group, hlm 49.
[17] Ibid, hlm 67.
[18] Peter Drucker, 1998, Startegi dan Taktik, Jakarta : Persada Grup, hlm 79.
[19] Dahlan Ranuwiharjo, 1953, Pendidikan Politik, Jakarta : Haji Masagung, hlm 22.
[20] Agussalim Sitompul, 2008, 44 indikator kemunduran HMI, Jakarta : Intermasa, hlm 98.
[21] Ibid, hlm 107.

2 komentar: